Pesona Salak Indonesia
dan Soto Ayam
Menjadi host family terlebih bagi tamu kami yang berasal dari negara
tetangga, ternyata bukanlah perkara mudah. Begitu kami mendapat informasi bahwa
kami akan menjadi keluarga angkat siswa pertukaran pelajar dari Thailand, kami
mulai mencari tahu tentang banyak hal mulai dari profil siswa termasuk latar
belakang keluarganya, makanan kesukaannya (termasuk apa yang boleh dimakan atau
yang tidak boleh dimakan), hobi, apa yang ingin dia lakukan selama di Indonesia
bla bla bla.
Sebagai tuan rumah, tentu saya tidak ingin
mengecewakan tamu. Para siswa dari Thailand tersebut merupakan siswa pertukaran
pelajar yang membalas kunjungan siswa sebuah sekolah swasta di Surabaya
Desember lalu. Kebetulan anak saya ikut dalam program tahunan itu dan disambut
hangat di Thailand. Ada empat orang siswa dan tiga guru pendamping yang ikut
dalam rombongan. Seharusnya mereka berangkat dengan lima belas orang siswa
namun karena kenaikan biaya tiket pesawat yang sangat tinggi akhirnya sekolah
Pluakdaengpittayakom School Rayong Thailand memutuskan hanya memberangkatkan
empat siswa terpilih tahun ini.
Sopan
dan Suka Soto Ayam
Prosesi penyerahan siswa kepada orang tua
angkat berlangsung sangat hangat di sebuah rumah makan di Surabaya. Salah satu dari
mereka akan tinggal di rumah kami selama satu minggu lamanya. Siswa Thailand
menampilkan pertunjukan seni bela diri Thailand sedangkan siswa Indonesia
menampilkan Tari Saman dari Aceh dan Tari Remo. Malam itu juga, Thanachat Swannakerd
langsung kami bawa pulang untuk tinggal di rumah kami. Saat Thanachat
mengucapkan, “ I can eat everything ’ aaahhhhh leganya hati kami karena kami
tidak perlu ‘repot’ memilihkan makanan untuknya.
Keluarga lain yang juga host family bercerita bahwa anak angkat
mereka tidak mau makan daging sapi tapi sangat suka daging babi. Saling
toleransi antara keluarga angkat dan anak angkat sangat diperlukan dalam hal
ini. Karena mereka semua kebetulan beragama Budha sedangkan kami semua beragama
Islam. Alhamdulillah para siswa dan guru dari Thailand sangat menghormati dan
menjunjung toleransi. Mereka lebih memilih menu ayam untuk makan sehari-hari
ditambah beberapa sayuran. Bila tiba waktu sholat mereka hanya duduk menunggu
kami sholat dan bertanya banyak hal tentang Islam.
Bersyukur juga kami karena Thanachat bisa
menyesuaikan ‘lidahnya’ dengan menu Indonesia. Pagi hari, kami ajak dia untuk
makan soto ayam. Awalnya dia bingung dengan nama soto ayam. Namun begitu
semangkok soto ayam terhidang di hadapannya, dia langsung mencicipinya dan
menunjukkan dua jempolnya pada saya. Thanachat mengabadikan foto soto ayam,
mengunggahnya di facebook dan langsung mendapat respon teman-temannya.
Thanachat juga memberikan kami oleh-oleh berupa dua butir telur bebek, sambal
Thailand dan beberapa bungkus mie instant rasa tom yum...hemmmmmmm.
Thanachat merupakan siswa yang paling baik
Bahasa Inggrisnya namun karena Bahasa Inggrisnya berlogat Thailand, cukup sulit
bagi kami (mungkin dia juga sulit mengerti Bahasa Inggris kami) untuk
berkomunikasi. Pulpen dan notes menjadi penghubung kendala kami dari segi
bahasa. Mungkin karena ini pula, maka teman-temannya di Indonesia merubah namanya
menjadi Rafi Putera Thai.....hahahaha...dan selama dia tinggal di Indonesia,
kami semua memanggilnya Rafi.
Ramah, sopan dan santun adalah kesan yang
kami dapat dari mereka. Mereka selalu memberi hormat dan mengucapkan terima
kasih atas semua kebaikan yang mereka terima. Selama Rafi berada di rumah
kami,kami saling bertukar pelajaran bahasa. Awal perkenalannya di sekolah, Rafi
mengunakan Bahasa Indonesia yang dia dapat dari hasil belajar bersama kami
malam sebelumnya. Walau hanya beberapa kalimat, nampaknya dia sukses
memperkenalkan dirinya dengan menggunakan Bahasa Indonesia.
Salak
dan Hantu
Ketika saya bertanya padanya tentang
makanan apa lagi yang ingin dia cari dan coba di Indonesia, Rafi menjawab,
“Selak!”. Saya bingung karena saya mengira dia ingin mencicipi salad. Setelah
berjam-jam googling di internet,
akhirnya Rafi menemukan gambar sesuatu yang dia maksud ‘selak’. “Ah....this
one!”, oh ternyata maksudnya buah SALAK.
Mulanya saya berpikir, Thailand tidak memproduksi salak.
Dugaan saya keliru karena ternyata disana banyak tumbuh pohon salak yang
disebut salak Bangkok. Selain manis, salak Bongkok berukuran besar, dan
beraroma wangi. Rupanya, tampilan dan
cita rasa salak Bangkok jauh dengan salak dari Indonesia yang segar, manis dan
krispi. Bentuk salak Bangkok memanjang dengan ujung runcing. Panjangnya bisa
mencapai 9-10 cm dan lebarnya 4-5 cm. Kulitnya lebih tipis bila dibanding
dengan salak dari Indonesia.
Bila salak ini dibelah, hanya terdiri dari satu buah,
sangat jarang yang isinya dua buah. Daging buahnya tipis, berwarna kuning
pucat, dan ada bercak cokelat. Bila sudah masak akan terasa sedikit masam,
tetapi tidak sepet, masir, dan beraroma arak. Salak Bangkok, yang dipanen
sesudah berusia enam bulan di pohon, dapat dikonsumsi dan diolah menjadi
asinan. Tapi bicara tentang salak, salak Indonesia memang tak tertandingi
tampilan dan cita rasanya. Mungkin ini sebabnya Rafi ingin makan salak
Indonesia dan membawanya sebagai oleh-oleh. Dia langsung memesan empat kilo
salak pada saya untuk dibawa pulang. Kopernya akhirnya sebagian besar terisi
oleh salak.
Setelah membuat saya cukup bingung dengan buah salak,
Rafi tiba-tiba bertanya tentang hantu di Indonesia. Pertanyaannya dilontarkan
malam hari pukul 11, sehingga saya menjanjikannya untuk bercerita esok hari
soal hantu (daripada saya tidak bisa tidur). Esoknya saya ceritakan kepadanya
soal hantu dan dia pun bercerita tentang hantu yang ada di Thailand.
Pembicaraan seputar hantu segera saya akhiri dan saya mengalihkannya untuk
berbicara topik lain yang lebih menarik tentang negaranya dan negara kami,
Indonesia.
Pendidikan
Gratis
Di negaranya, Rafi (Thanachat,Red) belajar
dari Hari Senin hingga Jumat mulai 08.30 – 15.30 waktu setempat.Di hari libur,
Sabtu dan Minggu, Rafi membantu ibunya berjualan karena kebetulan keluarga
mereka memiliki toko kecil. Ayahnya seorang polisi di Rayong dan memiliki
kesibukan yang sangat tinggi. Tingkat kriminalitas di Rayong yang cukup tinggi,
‘memaksa’ ayah Rafi dan teman seprofesinya sesama polisi kadang-kadang tidak
pulang kerumah. Saat ini, Rafi berusia lima belas tahun dan duduk di kelas 10
di Pluakdaengpittayakom School yang disebutnya sebagai state school.
Membandingkan pengelolaan pendidikan
Indonesia dengan Thailand tampaknya memang kita tertinggal. Pemerintah kerajaan
Thailand sangat memperhatikan sektor pendidikan. Tiga puluh persen
anggaran negara (APBN) di gelontorkan untuk membenahi pendidikan. Maka jangan
heran jika di negeri gajah putih itu pendidikan gratis sudah mulai berlaku
sejak Pendidikan Usia Dini.
Jangan membayangkan makna pendidikan gratis seperti di Indonesia. Pendidikan gratis di Thailand, mencakup semua aspek kebutuhan sekolah, mulai dari biaya sekolah, seragam, alat tulis, makan siang, dan dua kotak susu gratis bagi siswa untuk diminum di sekolah dan dibawa pulang ke rumah setiap hari khusus untuk anak grade1-7. Mungkin inilah sebabnya Rafi cukup bingung, ketika saya tanya berapa SPP (iuran pendidikan,Red) disana setiap bulan karena rupanya orang tuanya tidak pernah mengeluarkan biaya untuk sekolahnya. Sayang, saya tidak punya cukup waktu untuk bertanya lebih banyak soal kurikulum Thailand. Yang kami amati, kemampuan Bahasa Inggris siswa Indonesia memang jauh lebih baik daripada siswa Thailand. Semoga Indonesia bisa menyusul Thailand, mewujudkan pendidikan gratis bagi rakyat. Semoga! Dan semoga ketika kami sempat berkunjung ke Thailand, kami bisa membawakannya soto ayam.....(
Komentar
Posting Komentar